Oleh : Ayief Fathurrahman
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu sejarah sejarah dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya secara umum yang berlangung sangat cepat.[1] Dalam bidang politk, hanya dalam satu abad lebih sedikit, Islam sudah menguasai Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Smenajung Arabia, Irak, sebagian Asia, Persia, Afganistan, dan lain-lain.[2] Kebangkitan Islam itu melahirkan sebuah imperium, mengalahkan dua imperium besar yang sudah adas sebelumnya : Persia dan Bizantium.[3] Sejalan dengan menanjakknya imperium besar ini, umat Islam juga menggalakkan pengembangan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun umum. Perkembangan ilmu pengetahuan itu semakin dipercepat dengan terjadinya kontak-kontak pemikiran dan budaya antara orang-orang Arab Islam dengan bangsa yang telah ditaklukannya.
Seiring dengan perkembangan budaya dan peradaban Islam itulah ilmu sejarah dalam Islam lahir dan berkembang. Ketika umat islam sudah mencapai kemajuan dalam penulisan sejarah, tidak ada bangsa lain waktu itu yang menulis sejarah seperti halnya kaum muslimin.[4] Namun dewasa ini, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dunia, usaha mempelajari sejarah perdaban Islam dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan dilaksanakan juga oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Islamic history studies di kalangan umat Islam sendiri, tentunya mempunyai tujuan yang berbeda dengan tujuan Islamic history studies yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam.[5]
Di kalangan umat Islam, Islamic history studies bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup (way of life). Sedangkan di luar kalangan umat Islam, seperti di Negara-negara Barat, Islamic history studies bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek-praktek keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan. Namun, sebagaimana halnya dengan ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk beluk agama dan praktek-praktek keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.
Salah satu sarjana-sarjana Barat yang tampaknya amat tertarik dengan dinamika umat Muslim di dunia ini adalah Marshal G.S. Hodgson, warga Amerika yang telah berkarya dengan sebuah karya besar The Venture of Islam, telah menyampaikan pesan dengan se-obyektif mungkin tentang Islam dan peradabannya serta pengaruhnya terhadap peradaban Barat.
Pada kesempatan kali ini penulis mencoba mengkaji buku The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization bagian 2 secara komprehensif. Selain meneliti teks, penulis juga melakukan kajian di luar teks dan menyelidiki sudut pandang yang menjelaskannya.
B. Sekilas Tentang Marshall G.S. Hodgson
Marshall Goodwin Simms Hodgson (April 11, 1922 – 10 Juni 1968), adalah seorang Studi Islam akademis dan sejarawan dunia di University of Chicago . Dia adalah ketua interdisipliner Komite Pemikiran Sosial di Chicago. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Hodgson adalah penulis buku fundamental, The Venture Islam : Conscience and History in a World Civilization, yang secara universal diakui sebagai sebuah karya yang fundamental dalam studi sejarah Islam dan Peradaban Muslim.[6] Meskipun ia tidak menerbitkan secara ekstensif selama hidupnya, ia telah menjadi sejarawan Islam dari Amerika yang paling berpengaruh.
Di samping itu, kepentingan yang modern juga terletak dengan karyanya tentang sejarah dunia, yang tetap relatif tidak diketahui selama masa hidupnya.[7] Sebagian besar itu ditemukan kembali dan kemudian dipublikasikan melalui upaya Edmund Burke III dari Universitas California, Santa Cruz . Secara tepat oleh Smith digambarkan sebagai “seorang tokoh besar yang kurang terkenal di antara sarjana-sarjana lain yang lebih terkenal”.[8]
C. Pendekatan/ Metodolgi yang Digunakan
Penulisan sejarah adalah usaha rekontruksi peristiwa yang tejadi di masa lampau. Penulisan ini bagaimana pun baru dapat dikerjakan setelah dilakukan penelitian, karena tanpa penelitian penulisan menajdi rekontruksi tanpa pembuktian. Dalam penelitian dibutuhkan kemampuan untuk mencari, menemukan, dan menguji sumber-sumber yang benar. Sedangkan dalam penulisan dibutuhkan kemampuan menyususn fakta-fakta yang bersifat fragmentaris ke dalam uraian yang sistematis, utuh, komunikatif.[9] Keduanya membutuhkan kesadaran teoritis yang tinggi serta imajinasi histories yang baik. Sehingga, sejarah yang dihasilkan bukan saja dapt menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer, yang terkait pada pertanyaan poko, tentang “apa, sipa, di mana, dan apabila”, tetapi juga mengenai “bagaimana” serta”mengapa dan apa jadinya”.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaa elementer dan mendasar di atas adalah “fakta sejarah” dan merupakan unsure yang memungkinkan adanya “sejarah”. Sedangkan jawaban pertanyaan “bagaimana” adalah suatu rekontruksi yang berusaha menjadikan semua unsur itu terkait dalam suatu deskripsi yang disebut “sejarah”, dan secara teknis disebut “keterangan histories” (history explanation). Adapun jawaban terhadap pertanyaan “mengapa dan apa jadinya”, yang menyangkut masalah kausalitas adalah hasil puncak yang bisa diharapkan dari studi sejarah, yang biasa disebut sebagai studi sejarah kritis. [10]
Dalam menulis buku The Venture of Islam yang dianggap sebagai sebuah karya magisterial pikiran sejak publikasi pada awal 1975, Hudgson menginterpretasikan sejarah perkembangan peradaban Islam dari sebelum kelahiran Muhammad ke tengah abad kedua puluh, didahului dengan penelitian dan disertai dengan analisis terhadap peristiwa-peristiwa di masa silam, terutama dalam menggali jawaban terhadap pertanyaan “mengapa dan apa jadinya” tentang sejarah perdaban Islam. Sehingga dapat dikatakan, penulisan sejarah perdaban Islam yang dilakukan oleh Hudgson dikatagorikan studi sejarah kritis. Efrinaldi dalam tulisannya “Dekontruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia” menyebutkan bahwa Hudgson menggunakan pendekatan historis-sosiologis.[11]The Venture of Islam has been honored as a magisterial work of the mind since its publication in early 1975.
D. Kandungan Buku The Venture Of Islam
Dalam bukunya ini, Hodgson membuktikan bagaimana Islam berhasil menciptakan suatu dasar peradaban kemanusiaan global, dan menjadi puncak .Zaman Sumbu. (Axial Age) sejarah umat manusia, kemudian berkembang menjadi bagian terpenting peradaban zaman sekarang ini.[12]
Menurut Hodgson, dari semua pola budaya umat manusia sepanjang sejarah, pola budaya Islam adalah yang paling mendekati keberhasilan menjadi pola budaya dunia.[13] Atau, setidaknya, seperti dikatakan Ross E. Dunn, pola budaya Islam adalah pola budaya hemispheric, karena merupakan pola budaya paling umum di belahan bumi yang saat itu dikenal, yaitu belahan bumi timur yang meliputi Asia, Afrika dan Eropa (karena belahan bumi barat, yaitu benua Amerika, belum .diketemukan.). Dan sistem politik yang diciptakannya adalah sistem politik berdasarkan madanîya, civility, keadaban, yang bertumpu kepada paham dasar supremasi hukum. Sistem politik itulah yang oleh Robert N. Bellah disebut sebagai sangat modern, mungkin terlalu modern untuk zamannya sehingga tidak bertahan utuh cukup lama, namun tetap menjadi model masyarakat nasional yang adil, terbuka, egaliter dan partisipatoris. Menurut Bellah, masyarakat serupa itu belum pernah terbayangkan pada umat manusia sebelumnya, dan menurut Martin Lings tetap menyediakan keteladanan bagi umat manusia saat ini dan sepanjang masa.[14]
Di samping itu, di dalam buku ini juga dijelaskan bahwa Islam dalam konteks sejarah tidak pernah tercatat menghilangkan budaya lokal. sebagaimana dikemukakan oleh Hodgson, dalam sejarah kelahirannya Islam selalu tampil dalam format dialog-dialog agama dan dialog-dialog peradaban.[15] Islam hadir memberi warna baru dan mengisinya dengan nilai atau ajaran yang lebih universal dan bernuansa spiritualitas. Nabi Muhammad saw di Arab mengganti tradisi haji yang berbau jahiliah dengan ajaran Islam. Bahkan, mengubah perilaku buruk yang membudaya di Makkah dan Madinah menjadi sebaliknya.[16] Sebagaimana yang dicontohkan :
For example, Islam everywhere affected family relations by its inheritance laws, which created bonds and tensions of their own. Laws involving public affairs were less consistently implemented; exceptionally, those concerning the status of dhimmfs (adherents of scriptuary religions who lived under Muslim rule) were often effected.[17]
Fakta hitoris itulah yang kemudian oleh Marshall G.S. Hodgson disebut “Islamicate“, budaya yang bercorak Islam. Hodgson dalam studi peradaban Islam, menganjurkan dalam melihat realitas Islam di dunia harus bisa membedakan antara Islam sebagai doktrin (Islamic) dan fenomena ketika doktrin itu masuk dan berproses dalam sebuah masyarakat-kultural yang disebut “Islamicate”. Kemudian juga harus melihat konteks sosial dan kesejarahan, khususnya saat Islam menjadi sebuah fenomena “dunia Islam” yang politis dalam kenegaraan yang disebut dengan “Islamdom”.[18]
Islamicate merupakan karakteristik pendekatan Islam pada wilayah kekuasaan, terutama Timur Tengah. Bermula dari sebuah agama, kemudian berkembang menjadi sebuah sistem yang menata kehidupan masyarakat, dan meliputi segenap aspek kehidupan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pipes :
Islam began as a religion, developed a legal system, and eventually included elements affecting all aspects of human existence. For example, minimal relations between the sexes, severe problems of political succession, and a cultural emphasis on memorization characterized premodern Islamicate life in nearly all places and times.[19]
Senada dengan di atas, Hodgson juga mengatakan bahwa Timur Tengah yang mempunyai perdaban yang tinggi (dia mengatakan dengan the Irano-Semitic tradition of the Nile-to-Oxus region) telah dimodifikasi oleh Islam. Teknik pemerintahan, kebudayaan urbanisasi Persia telah diadopsi oleh Islam dan bahkan telah mempengaruhi cara pandang mereka. Sebagaiman perkataan Hodgson :
What was carried throughnut Islamdom, then, was not the whole Irano-Semitic social complex but the Islamicized Irano-Semitic high cultural traditions; what may be called the “Perso-Arabic” traditions, after the two chief languages in which they were carried, at least one of which every man of serious Islamicate culture was expected to use freely. The cosmopolitan unity into which peoples entered in so many regions was maintained independently of the everyday culture, and on the level of the Perso-Arabic high culture; its standards affected and even increasingly modified the culture of everyday life, but that cullure remained essentially Indic or European or southcrn or northern, according to the region.[20]
Ekspansi Islam ke wilayah yang baru berdampak pada ketidakdominan budaya muslim, karena sebagai pendatang baru, disbanding dengan penduduk setempat,”the everyday culture of the newer Muslim areas had less and less in common with that in the original Irano- Semitic lands.’’[21]
Islamic, Islamicate, Islamdom
Kata ”Islam” oleh sebagian orang selalu dikonotasikan sebagai sebuah wujud yang utuh antara doktrin dan praktik yang dilakukan oleh para pemeluknya. Padahal dalam kajian yang lain, terutama dalam tinjauan sejarah, hubungan doktrin dan pelbagai praktik peradabannya, terutama di masing-masing wilayah, masih mengandung ”jarak” yang sangat memungkinkan untuk bisa dibedakan dan dibicarakan secara objektif.
Islam memiliki karakteristik global, dapat diterima dalam setiap ruang dan waktu. Namun pada sisi yang lain, saat ia memasuki pelbagai kawasan wilayah, karakteristik globalnya seolah-olah hilang melebur ke dalam pelbagai kekuatan lokal yang dimasukinya. Dengan demikian, Islam seringkali dipandang sebagai agama yang memiliki kesatuan dalam keragamannya (unity in variety); kesatuan dan universalitas Islam dalam aspek-aspek teologi dan spiritualnya, sementara lokalitas keragamannya berada dalam pola-pola penerapan dengan variasi kultural masing-masing.
Marshall G.S. Hudgson menganjurkan kepada setiap pengkaji Islam, terutama dalam melihat realitas Islam di dunia, harus bisa membedakannya dalam tiga bentuk fenomena Islam sebagai sasaran studi.
Islamic” refers to the religion of Islam and “Islamicate” to its civilization. “Islamdom” is the “society in which the Muslims and their faith are recognized as prevalent and socially dominant.[22]
Pertama, fenomena Islam sebagai doktrin (Islamic), kedua, fenomena ketika doktrin itu masuk dan berproses dalam sebuah masyarakat-kultural (Islamicate) dan mewujudkan diri dalam konteks sosial dan kesejarahan tertentu. Dan ketiga, ketika Islam menjadi sebuah fenomena ”dunia Islam” yang politis dalam lembaga-lembaga kenegaraan (Islamdom) yang bertolak dari konsep ”dar al-islam”, sebagaimana pula yang terjadi di dunia Kristen, Christiandom; di mana ketentuan-ketentuan hukum berlaku sebagaimana Al Quran atau Injil.[23] Sebagaimana yang ia definsikan :
The society in which the Muslims and their faith are recognized as prevalent and socially dominant, in one sense ot another–a society in which, of course, non-Muslims have always formed an integral, if subordinate, element, as have Jews in Chritendom.
Sekalipun dikatakan demikian, kedua fenomena terakhir (islamicate dan islamdom) tidak bisa memberikan jaminan secara pasti bahwa seluruh prilaku umatnya berjalan persis sesuai dengan teks doktrin. Dengan kata lain, islamicate dan islamdom merupakan fenomena Islam yang telah terlontar dalam kancah sejarah dalam konteks struktural tertentu pada pelbagai ruang dan waktu yang berbeda dan mengikatnya. Dengan demikian kajian kawasan dunia Islam yang dimaksud dalam buku ini berada dalam wilayah riset islamicate dan islamdom.[24]
Dengan hadirnya buku ini, cara pandang yang salah terhadap Islam bisa semakin berkurang. Cara pandang yang menyejajarkan Islam dengan terorisme dan gerakan-gerakan radikalisme akan semakin terbantahkan. Adanya keragaman praktik keislaman yang disebabkan oleh kultur dan politik menjadi alasan bahwa sesungguhnya Islam tidak bisa dipersalahkan[25]
E. Penutup
Di dalam bukunya The Venture Of Islam, secara tegas Marshall GS Hodgson membedakan antara Islam sebagai agama, tatanan politik Islam dahulu dan kini, dan kultur Islam secara menyeluruh. Untuk yang pertama, Hodgson menciptakan istilah Islam dan islami (Islamic). Yang kedua, ia menggunakan istilah Islamdon (dunia islam), yang dapat disejajarkan dengan Christenidom, dan untuk yang terakhir, ia memakai istilah Islamicate.
Harus diakui, Marshall G.S. Hodgson dengan amat sungguh-sungguh memperhatikan gambaran diri Umat Islam berdasarkan “Kitab Sucinya” itu, dan menjadikannya sebagai titik tolak dan sumber inspirasi bagi magnum opus-nya, The Venture of Islam, sebuah bahasan hampir tuntas tentang Islam dan peradabannya, yang terbaik dalam bahasa di luar bahasa Arab dan Persi.
Buku ini sebenarnya merupakan bacaan wajib bagi mata kuliah Islamic Civilization di Universitas Chicago, Amerika Serikat, yang merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa-mahasiswa Departemen Bahasa-bahasa dan Peradaban Timur dan Pusat Penelitian Timur Tengah – yang dirancang sendiri oleh Hodgson. Menurut Mulyadhi Kartanegara, penterjemah buku ini, mengatakan bahwa buku ini bukanlah karya yang mudah dipahami bahkan oleh orang yang mahir dalam berbahasa Inggris, apalagi menerjemahkannya, dan terlebih lagi bagi kita yang membacanya dalam bahasa Indonesia. Ini adalah karya yang sulit dipahami, bukan sebuah buku yang dibuat dengan ringan. Perlu adanya kesabaran khusus dan ketelitian yang mendalam disertai dengan daya analisis yang tinggi.
Di samping itu, di dalam kesempurnaanya itu, masih terdapat titik kelemahan menurut berbagai ahli sejarah. Salah satu yang mengkritik Hodgson adalah Bryan S. Turner yang termuat di dalam bukunya, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat.
Menurut Turner, pendekatan Hodgson ternyata masih gagal untuk melepaskan dirinya secara total dari asumsi-asumsi asosiologis orientalisme tradisional. Dalam pandangan Hodgson, Islam, sebagai agama maupun sistem sosial, diperlakukan sebagai perjalanan kesadaran nurani personal yang bersifat batin (kesalehan) dalam menciptakan peradaban yang impersonal dan lahiriah. Hati nurani (conscience) dianggap sebagai sebuah aktivitas kreatif paling kecil bagi seorang muslim ketika menghadapi realitas di luarnya.[26]
Turner menyimpulkan pendekatan Hodgson terhadap kesalehan/agama memunculkan apa yang disebut “kekebalan” (imunitas) sosiologis bagi keimanan. Sehingga kritik Turner, penjelasan Hodgson terhadap bagaimana memahami sistem kepercayaan asing tampak tidak memuaskan, karena jawabannya tidak meyakinkan. Sebab Islamdom dan islamicate dan bahkan Islam sebagai agama adalah bersifat publik dan dapat dijelaskan secara sosilologis; sedangkan kesalehan, kepercayaan, dan kesadaran nurani (conscience) adalah ahal yang privat, memiliki integritas tersendiri yangtidak terkontaminasi oleh factor-faktor sosiologis.[27]
Di samping itu, Hodgson sendiri adalah pemeluk Kristen yang kuat sehingga dia menolak setiap usaha untuk memilih elemen tertentu dari Kristen dan Islam yang dapat dianggap sama dan dapat diperbandingkan. Menurut Turner, setiap usaha ke arah sinkretis,[28] atau setiap pandangan yang menganggap bahwa semua agama adalah sama karena semuanya berpijak pada suatu respon kemanusiaan terhadap ilahi ditolak oleh Hodgson.
Namun terlepas dari segala kesempurnaan dan kelemahannya, hadirnya buku ini layak untuk diapresiasi, apalagi pada akhir-akhir ini yang mana Islam menjadi sorotan di belahan dunia. Tepatnya setelah terjadinya berbagai aksi sekolompok muslim yang mengatasnamakan Islam untuk melawan intimidasi imprealisme Barat dengan cara yang keluar dari apa yang dianjurkan Islam itu sendiri. Paling tidak, buku ini bisa membuka mata dunia bahwa Islam tidak bisa dipersalahakan dengan peristiwa ini, karena sejarah mencatat bahwa Islam juga sarat dengan muatan kultur dan unsur politik yang mengitarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan Abdurrahman Surjomiharjdo (ed), Ilmu Sejarah dan Historiografi : Arah dan Perspektif. Jakarta : PT Gramedia, 1985
Duri, Abd al-Aziz, Al-Bahts fi Nasy’ah Ilm al-Tarikh ind alArab. Beirut : Dar- Masyriq, 1960
Efrinaldi, Dekntruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia” dalam Mimbar Hukum, No. 50 Thn. XII 2001 (Jakarta: Al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam Depag RI
Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam : Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Buku Pertama Lahirnya sebuah Tatanan Baru penterjemah. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina, 2002.
________, Marshall G.S., The Venture of Islam : Conscience and History in a World Civilization, The Expansion of Islam in The Middle World. Volume 1-2. Chicago : The University of Chichago, 1974
________, Marshal G.S., The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta : Paramadina, 1999
Hourani, Albert, “Review of The Venture of Islam : Conscience and History in a World Civilization, Journal of Near Eastern Studies, vol. 37, 1978, hal. 53-62. Dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Marshall_Hodgson, diakses tanggal 18 Oktober 2010
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Perdaban Islam. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007
Madjid, Nurcholish, “Masa Depan Bangsa Dan Negara Pasca Bencana Kuta”, Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 2, Januari 2003: 91-100
Pipes, Daniel, Slave Soldiers And Islam The Genesis Of A Military Syste. New Haven : Yale University Press, 1981
Smith. D.E, Religion and Political Modernozation. New Haven : Yale University Press, 1974.
Thohir, Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik. Jakarta : PT Raja Grapindo Persada, 2009.
Turner, Bryan S., Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme. Cetakan I. Yogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003
______ ,Badri, Historiografi Islam. Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1997.
[1] Abd al-Aziz Duri, Al-Bahts fi Nasy’ah Ilm al-Tarikh ind alArab, (Beirut : Dar- Masyriq, 1960), hal. 13
[2] Baca lebih lanjut, M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Perdaban Islam. (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007).
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 51-53
[4] Badri Yatim, Historiografi Islam. (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 9
[5] Studi Islam yang dilakukan kebanyakan sarjana-sarjana Barat yang non-Muslim itu kemudian disebut Islamic Studies dalam perspektif outsider. Kajian keislaman dan peradabannya oleh kalangan luar atau dalam perspektif outsider sebenarnya pada mulanya berangkat dari semangat pemahaman kajian orientalis, yakni kajian tentang masalah-masalah ketimuran [oriental].
[6] Albert Hourani, “Review of The Venture of Islam : Conscience and History in a World Civilization, Journal of Near Eastern Studies, vol. 37, 1978, hal. 53-62. Dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Marshall_Hodgson, diakses tanggal 18 Oktober 2010
[7] The New Yorker memuji karya ini sebagai “maha karya yang tiada ban-dingannya, bukan hanya karena mutunya, tetapi juga karena buku ini telah menunjukkan bagaimana seharusnya sejarah itu ditulis”. Sementara Archibalo R Lewis, sejarawan AS, menyebutnya sebagai penelitian intelektual yang paling lengkap dan memuaskan tentang peradaban Islam. “Inilah buku terbaik tentang Islam di luar yang berbahasa Arab,” kata Prof Nurcholish Madjid terkagum saat peluncuran buku ini dalam edisi Indonesia pada 19 April 1999.
[8] Smith. D.E, Religion and Political Modernozation. (New Haven : Yale University Press, 1974), hal. ix
[9] Badri Yatim, Historiografi. hal 3
[10] Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomiharjdo (ed), Ilmu Sejarah dan Historiografi : Arah dan Perspektif, (jakarta : PT Gramedia, 1985), hal. iv
[11] Efrinaldi, Dekntruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia” dalam Mimbar Hukum, No. 50 Thn. XII 2001 (Jakarta: Al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam Depag RI), h.al. 11
[12] Nurcholish Madjid, “Masa Depan Bangsa Dan Negara Pasca Bencana Kuta”, Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 2, Januari 2003, hal 4-5
[13] Marshall G.S. Hodgson membagi sejarah Islam menjadi tiga periode. Pertama, periode klasik. Periode ini dimulai sejak lahirnya Islam (670-an M.) hingga runtuhnya tradisi pemerintah absolut (945 M.). Kedua, periode pertengahan. Periode ini dimulai sejak pertengahan abad ke kesepuluh ( 945 M.) hingga abad kelima belas ( 1503 M.), yakni ketika kemajuan belahan dunia Barat seimbang dengan kemajuan dunia Timur dan tumbuhnya peradaban internasional. Ketiga, periode modern. Periode ini dimulai sejak abad kelima belas, ketika kerajaan Islam terwakili oleh tiga kerajaan besar: Safawi di Persia, Mughal di India, dan kerajaan Turki (ottoman) di Turki, hingga sekarang. Baca Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, (Chicago: The University of Chicago Press, 1977), volume 1-3.
[14] Madjid, “Masa”, hal. 5
[15] Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam : Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Buku Pertama Lahirnya sebuah Tatanan Baru penterjemah. Mulyadhi Kartanegara. (Jakarta: Paramadina, 2002)
[16] Ibid.
[17] Daniel Pipes, Slave Soldiers And Islam The Genesis Of A Military Syste. (New Haven : Yale University Press, 1981), hal 16
[18] Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam : Conscience and History in a World Civilization, The Expansion of Islam in The Middle World. Volume 2. (Chicago : The University of Chichago, 1974), hal 8-11
[19] Daniel Pipes, Slave. Hal 13
[20] Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam. Hal . 10
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Menurutnya, dalam konteks kesarjaanaan modern, menggunakan term ‘Islam’ atau ‘Islamic’ terlalu sederhana (too casually) untuk menyebut ‘agama’ atau untuk menebut keseluruhan masyarakat dan budaya yang secara historis diasosiasikan dengan istilah tersebut. Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, hal 3-11
[24] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik.(Jakarta : PT Raja Grapindo Persada, 2009)
[25] Menurut Brown, buku ini setidak-tidaknya bisa dijadikan skala perbandingan bagi pembaca, untuk menakar wajah politik Islam. Baca lebih lanjut L Carl Brown, Wajah Islam Politik
Pergulatan Agama & Negara Sepajang Sejarah Umat.di dalam Edy A. Efendi, “Sikap Paradoks Kultur Politik Islam” di kutip dari Media Inonesia.
[26] Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme. Cetakan I. (Yogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002), hal 129
[27] Ibid.,hal. 134
[28] Sinkretisme adalah upaya untuk penyesuaian pertentangan perbedaan kepercayaan, sementara sering dalam praktek berbagai aliran berpikir. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain
Catatan :
This work grew out of the famous course on Islamic civilization that Hodgson created and taught for many years at the University of Chicago. (Karya ini tumbuh dari kursus terkenal pada peradaban Islam yang Hodgson dibuat dan diajarkan selama bertahun-tahun di Universitas Chicago).
In the second work of this three-volume set, Hodgson investigates the establishment of an international Islamic civilization through about 1500. (Dalam karya kedua ini-volume set tiga, Hodgson menyelidiki pembentukan sebuah peradaban Islam internasional melalui sekitar 1500). This includes a theoretical discussion of cultural patterning in the Islamic world and the Occident.( Ini termasuk diskusi teoritis pola budaya di dunia Islam dan Barat).
“This is a nonpareil work, not only because of its command of its subject but also because it demonstrates how, ideally, history should be written.”— The New Yorker“Ini adalah sebuah karya nonpareil, bukan hanya karena perintahnya subjek, tetapi juga karena hal itu menunjukkan bagaimana, idealnya, sejarah harus ditulis.” – The New Yorker